Rudolf Bosscha, Menjemput Bintang dan Meninggalkan Jejaknya di Bumi
Sebelum Karel Albert Rudolf Bosscha datang, tidak ada pengusaha perkebunan teh di Hindia Belanda dijuluki ”Raja”. Kesuksesannya mengelola perkebunan teh ”si emas hijau” berbuah manis bagi Bandung. Sebagian jejaknya abadi hingga kini.
Banyak literatur menyebutkan Ru, sapaan akrab Bosscha, kaya raya. Hartanya ”ditambang” dari perkebunan teh yang tersebar di seantero Priangan, mulai dari Bandung hingga Garut dan Sukabumi. Hasil panennya melanglangbuana, terutama Benua Eropa untuk menjadi sajian berharga tinggi.
Dari sekian banyak kebun yang ia kelola, andalannya adalah Perkebunan Malabar. Letaknya di Bandung Selatan, sekitar 50 kilometer dari pusat kota Bandung. Didirikan sejak 1896, pabrik bernama NV Assam Thee Onderneming Malabar.
Di tangan Ru, Malabar sangat disegani. Dari lahan vulkanik tidak jauh dari hulu Sungai Citarum seluas lebih kurang 3.000 hektar, panen teh dari sana bisa mencapai 2,5 juta ton per tahun. Tidak hanya pengusaha Hindia Belanda, pengusaha India hingga Ceylon (Sri Lanka) pun menaruh hormat kepadanya.
Namun, bukan perkara mudah mewujudkan itu semua. Dalam buku Pesona Sejarah Bandung: Perkebunan di Priangan yang ditulis Ryzki Wiryawan, Ru terserang malaria hingga bangkrut saat berusaha mengeksplorasi emas dan merintis usaha perkebunan teh di Kalimantan Barat di tahun 1889. Saat itu, ia mengikuti jejak kakaknya, Johanis Bosscha, yang seorang geolog.
Kesulitan itu tidak mengada-ada. Hingga kini, sulit mencari hamparan kebun teh di Kalimantan.
Ru mewarisi bakat dari orangtuanya. Bapaknya Johannes Bosscha adalah fisikawan. Sementara ibunya Paulina Emilia adalah bagian dari keluarga Kerkhoven. Keluarga ini dikenal sebagai pengusaha perkebunan di Hindia Belanda. Menderita polio, Ru sangat dekat dengan kedua orangtuanya.
Hingga akhirnya, kedekatan Ru dengan orangtuanya terpisah. Saat berusia 22 tahun, ia memutuskan merantau ke Hindia Belanda. Meski tidak lulus, dia nekat pergi mengandalkan modal kuliah Universitas Delft. Dia berada di Perkebunan Sinagar milik pamannya, EJ Kerkhoven, sebelum pergi ke Kalimantan yang berujung duka.
Kembali ke Jawa pada tahun 1893, RE Kerkhoven, sepupunya, menawarkan Ru mengelola Perkebunan Malabar yang baru dibuka. Namun, RE Kerkhoven dan SJW Van Buurenen sebagai penyumbang modal tidak terlalu berharap banyak. Ru belum berpengalaman dan baru saja menderita kebangkrutan.
Selain itu, kondisi geografis Malabar tidak terlalu ideal. Letaknya terpencil dililit keterbatasan akses. ”Land, waar geen land achter lag (Negeri, tanpa ada negeri di bawahnya),” Begitu kelakar yang hendak menggambarkan sulitnya akses ke Malabar.
Namun, Ru mematahkan keraguan itu. Pilihan menanam bibit teh dari Assam India serta mendatangkan pekerja berpengalaman dari Garut sangat tepat.
Teknologi yang dia pilih juga tepat guna. Berbekal pengalaman ayahnya yang akrab dengan peraturan skala matrik, Ru adalah pionir penggunaan hektar untuk satuan ukuran tanah. Sebelumnya pengukuran tanah lazim menggunakan bahu. Hal itu memudahkan dia mengatur pola tanam.
Ru juga menerapkan penggunaan listrik. Dayanya menggunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dari aliran Sungai Cisokan bertenaga 2.000 tenaga kuda. Selain itu, terpasang juga PLTA Cilaki dan PLTA Citamanga.
Rekan Ru, GF van Tets, yang pernah menyambangi Malabar, mengatakan, keberadaan listrik membuat kinerja Malabar sangat efisien. ”Penggunaan sembilan oven, misalnya, diyakini menghemat ongkos produksi. Dulu, pabrik menghabiskan biaya sangat besar hingga 40.000 gulden. Butuh 150 pekerja untuk mengumpulkan kayu sebagai bahan bakar,” kata Van Tets seperti dikutip Ryzki.
Sektor transportasi juga dibenahi. Jalan aspal dibuat antara perkebunan dan pabrik pengolahan. Semuanya menggantikan jalan berbatu demi memuluskan pengiriman teh.
Namun, infrastruktur ciamik bukan satu-satunya. Di balik investasi besar-besaran itu, Ru tetap mempertahankan kedekatan dengan pekerjanya, terutama 3.000 warga pribumi. Menjadi salah satu pendukung politik etis, dia menjadi pimpinan yang dicintai anak buahnya.
Salah satu jejaknya terpatri lewat imah hideung. Rumah sederhana berwarna hitam itu dibuat Ru untuk pekerja senior. Kompas pernah mengunjungi satu-satunya rumah yang tersisa beberapa tahun lalu.
Dindingnya dibuat dari bilik dan dilapisi aspal. Diduga, selain murah, bilik dipilih untuk meredam potensi gempa yang kerap terjadi di sana. Sementara aspal untuk menghalau dingin hingga melindungi bilik dari rayap.
Ada juga sekolah bagi anak buruh tani hingga pusat layanan kesehatan. Ru paham benar, berada jauh dari pusat kota, akses dasar serta pendidikan dan kesehatan harus benar benar diperhatikan. Saat ini, lokasi sekolah yang didirikan 1893 itu digunakan SDN Malabar IV. Ironisnya, sebelum tahun 2014, SDN ini pernah kehilangan aliran listrik.
Jiwa filantropi tidak hanya tumbuh di kebun teh. Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe mengatakan, daerah lain di Bandung ikut merasakannya. Kali ini, kemampuan Ru merangkul banyak kalangan menjadi modal penting.
Di bidang telekomunikasi Ru terlibat mendirikan Perusahaan Telepon Preanger. Ada rumah sakit kota, lembaga buta dan tuli serta Lembaga Kanker Hindia Belanda di bidang kesehatan. Selain itu, yang fenomenal dalam kehadiran Institut Teknologi Bandung dan Observatorium.
Observatorium menjadi salah satu yang paling fenomenal. Bisa jadi, tempat itu menjadi yang paling banyak menghabiskan uangnya. Uniknya, selain kebutuhan pengamatan langit selatan yang belum ada saat itu, semua berawal dari pesan ayahnya saat Ru hendak merantau ke Hindia Belanda.
”Jika kesulitan di sana, temukan kekuatan dalam cintamu untuk bintang-bintang.”
Dalam Bandung: Citra Sebuah Kota yang ditulis Robert Voskuil dan kawan-kawan, Ru lantas merancang ide itu bersama sepupunya, RE Kerkhoven. Dia menyediakan 300.000 gulden.
Ru juga menghubungi Carl Zeiss di Jena, Jerman, untuk mendapatkan teleskop refraktor ganda berdiameter 60 sentimeter. Mereka juga menghubungi De Askania Werke Carl Bamberg di Berlin demi teleskop berdiameter 37 sentimeter.
Orang-orang penting Hindia Belanda ikut dijaring lewat klub astronomi yang mereka buat, De Nederlands Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Beberapa di antaranya Presiden Javasche Bank EA Zeilinga hingga astronom J Voute yang lama berkiprah di Observatorium Meteorologi Weltevreden.
Tokoh lain yang ikut meyumbang adalah cucu kapiten Tionghoa di Padang, Lie Sway, yang memberikan teropong astronomi. Ada juga dari kalangan perbankan dan swasta dan anggota NISV yang berjumlah hingga 60 orang.
Untul lahannya, Ru tidak kesulitan. Ada keluarga Ursone yang mau menghibahkan lahan seluas 4,7 hektar. Keluarga Ursone adalah pemilik Peternakan Baru Ajak di Lembang.
Pada 1 Januari 1923, sejarah ilmu pengetahuan modern itu dimulai. Observatorium diresmikan Gubernur Jenderal D Fock. Arsiteknya adalah sang maestro Wolff Schoemaker.
Bangunan tahan api ini memiliki lantai seberat 13 ton yang bisa naik dan turun. Kubahnya bisa digerakkan dengan motor listrik berdaya 10.000 watt. Nama Ru Bosscha semakin melambung setelahnya.
Saking tenarnya, Ru tidak kesulitan saat menjajal dunia politik agar bisa bergerak lebih dinamis menyuburkan semangat filantropinya. Dinobatkan sebagai warga kehormatan Bandung pada 20 Desember 1920, Ru pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Priangan dan Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad).
Meski begitu, dia jarang tinggal di Batavia. Dia lebih banyak tinggal Malabar, perkebunan yang ia cintai.
Dari berbagai kisah mulut ke mulut, Ru punya tempat favorit bernama Gunung Nini. Selain menjadi tempatnya mengawasi kebun, penamaan lawasann itu diyakini sebagai buah rindu pada istrinya, Janiah Soeripto.
Biasa dipanggil Nini, istrinya adalah perempuan Jawa yang menjadi guru privat di Kerajaan Sambas. Nini dan anak mereka berdua urung dibawa ke Priangan terkendala stigma perkawinan kaum Eropa dan pribumi.
Di tempat itu juga Bosscha disebut mengembuskan napas terakhir akibat serangan jantung pada 26 November 1928, kepergiannya ditangisi banyak orang, pejabat hingga rakyat biasa.
Iring-iringan panjang mengiringi pemakamannya. Ru disebut sebagai orang Belanda yang paling dikenang saat meninggal. Makamnya tetap di Malabar, bersama kebun teh yang ia besarkan.
Meski sudah tiada, jejak baik masih dikenang. Penulis Louis Couperus, dalam catatan berjudul Oostwarts mengatakan, Bosscha adalah sosok besar dan kuat seperti gunung api. Pekat dan halus seperti kehijauan daun teh, sama seperti langit itu yang membentang. Dari sana, sebutan ”De Koning der Thee” alias ”Si Raja Teh” muncul.
Kini, sudah nyaris 95 tahun Ru wafat. Namun, rumah dan makamnya tetap dirawat PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di Malabar. Bandung tetap mengingatnya dalam nama Jalan di kawasan Cipaganti. Institut Teknologi Bandung juga mengabadikan namanya untuk laboratorium fisika.
Observatorium juga tetap berdiri tegak. Usianya kini 100 tahun. Namun, peran bagi masa depan belum usai. Banyak kalangan justru melihatnya sebagai awal astronomi modern. Kehadirannya terus menginspirasi banyak aktivitas astronomi amatir hingga penelitian terukur.
Kepala Observatorium Bosscha Premana Premadi mengatakan, pihaknya terus bergerak mengembangkan teknologi pengamatan bintang. Saat ini, salah satu teleskopnya menggunakan sistem Bosscha Robotic Telescope (BRT).
Teknologi ini membuat astronom bisa menggerakkan salah satu teleskop dari jarak jauh serta tinggal memasukkan data dan koordinat. Salah satu kerjanya mengamati cuaca antariksa dari aktivitas Matahari.
”Dunia modern amat bergantung pada gelombang elektromagnetik dan erat kaitannya dengan aktivitas Matahari. Pengamatan cuaca antariksa yang dipengaruhi Matahari ini menjadi penting agar bisa menjadi antisipasi,” ujarnya.
Ru Bosscha sudah lama pergi menjemput bintang-bintang yang dicintainya. Namun, jejak besarnya masih tinggal dan menginspirasi Bumi.
Leave a Reply