Perkebunan Teh dan Karet Maswati, Cerita Menir Belanda di Lintasan Kereta Cepat Jakarta-Bandung
PIKIRAN RAKYAT – Eeerste Steen Gelegd Door Carel Ditlov Brix 5 September 1927. Tulisan itu tertera di prasasti pualam putih di salah satu fasad bangunan perkebunan Maswati, Desa Kanangasari, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat yang hampir runtuh.
Tulisan dalam bahasa Belanda itu memiliki arti, “Batu pertama diletakkan Carel Ditlov Brix pada 5 September 1927”. Siapa sosok bernama asing itu dan kenapa ia menjadi peletak batu pertama pembangunan tersebut?
Prasasti itu berada di Gedung Pusdiklat Kebun Panglejar Bagian Maswati PTP Nusantara VIII. Kondisinya mengenaskan. Rumput-rumput tinggi memenuhi halaman. Spanduk yang tertera mewanti-wanti agar pengunjung tak masuk karena bangunan rusak.
Petunjuk soal siapa tuan perkebunan itu ternyata ada di iklan sejumlah koran-koran berbahasa Belanda. Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie pada 17 Februari 1927 umpamanya, memuat potongan iklan dari seorang ibu bernama, A. A. S. Brix Westhoff.
Nyonya tersebut mencari guru muda untuk mengajar dua anaknya yang berusia 8 dan 6 tahun. Gaji yang ditawarkan f100 per bulan.
Menariknya, lamaran mesti ditujukan kepada sang nyonya yang beralamat di Maswati. Siapa ibu tersebut dan apa hubungan dengan Carel Ditlov Brix?
Potongan iklan lain dari De Preangerbode pada 12 September 1919 memperjelas identitas keduanya.
Iklan itu berisi berita kelahiran putra pasangan Carel Ditlov dan Adéle Adolphine Sophie Westhoff pada 27 Agustus.
Identitas Ditlov Brix sebagai administrateur (administrator) Maswati juga muncul dalam berita pendek dan iklan koran lain. Namun, namanya ditulis, J.D. Brix.
De Indische Courant misalnya, pada 23 Januri 1935 menurunkan berita dengan mengutip Algemeen Indisch Dagblad (AID) tentang Tuan J.D. Brix, administrator perusahaan karet dan perusahaan Maswati yang mengambil cuti ke Eropa.
De Preangerbode pada 19 September 1922 memuat iklan penjualan kuda wagon dengan memajang J.D. Brix selaku administrator perusahaan Maswati untuk informasi perniagaan itu.
Petunjuk lain juga terdapat dalam kabar duka cita kematian Dr. Hendrik Johannes Laverge (61 tahun) yang tertera di Algemeen Handelsblad, 2 Mei 1930.
Hendrik merupakan saudara ipar Brix bersaudara. Salah satu orang yang berduka dalam iklan tersebut adalah pasangan J.D. Brix dan A. A. S. Brix Westhoff yang bermukim di Maswati.
Lagi, nama depan Brix disingkat JD, bukan CD atau Carel Ditlov. Tuan Brix menjabat administrator perkebunan Maswati pada 1919.
Hal tersebut tertulis dalam warta De Preangerbode, 15 November 1919. “Tuan J.D. Brix, pengurus perusahaan Rantjabolang dekat Bandoeng, telah diangkat menjadi pengurus perusahaan teh Maswati.”
Ia menggantikan pimpinan Maswati sebelumnya, Canter Visscher, yang mengundurkan diri.
Bermasyarakat
Sosok pimpinan perkebunan Maswati itu juga pernah didengar Tia Setiana, warga 61 tahun asal Kampung Cibengkung, Desa Kanangasari.
“Yang membangun perusahaan dari mulai pabrik, gedung-gedung dan emplasemen,” kata Tia Setiana.
Cerita itu didengar Tia dari neneknya, Arsih. Sang nenek memanggil bos perkebunan tersebut, Tuan Carel. Arsih sempat menjadi pegawai perkebunan bagian penyortiran teh.
Arsih menjadi pekerja perkebunan setelah dibujuk Brix. Sebelumnya, ia bekerja membuat baju dan menyulam. Saat itu, untuk membuat satu baju saja saat butuh waktu hingga tiga bulan.
“Mending kerja di saya saja, dalam seminggu gajinya bisa buat beli satu baju atau celana,” ucap Tia menirukan tawaran pekerjaan dari Brix kepada neneknya.
Menjadi bos perkebunan tak membuat Brix tinggi hati. Dari keterangan neneknya, Tia menyebut bahwa Brix sosok yang memasyarakat.
Karena tingkat lakunya yang terbilang dekat dengan masyarakat, warga di sekitar Maswati mau bekerja di perkebunan.
Dunak
Selain bangunan, peninggalan Onderneming Maswati lain adalah jalur pengangkutan hasil bumi perkebunan menggunakan kabel.
Sisa fondasi tiang penyangga jalur itu masih bisa ditemui di Cibengkung. Jalur pengangkutan itu dikenal warga dengan nama Dunak.
Hasil perkebunan seperti teh dan kayu untuk bahan bakar pengolahannya dibawa menggunakan semacam troli yang berjalan di atas dua jalur sling. Dengan cara itu, teh yang dipetik dikirim menggunakan troli ke pabrik.
“Dulu belum ada pengangkutan menggunakan truk,” ucapnya.
Informasi sistem pengangkutan itu sejalan dengan pemberitaan Het Vaderland, 17 Juni 1913.
Administrator Maswati Canter Visscher kala itu disebut beroleh izin membangun dan mengoperasikan transportkabel atau pengangkutan menggunakan kabel di perkebunan tersebut.
Perubahan juga terjadi pada komoditas hasil bumi perkebunan dalam perkembangannya. De Indische Courant terbitan 12 Februari 1940 mengulas perubahan komoditas dalam berita meninggalnya mantan administrator perusahaan itu, Canter Visscher.
“Canter Visscher yang mengubah bisnis kopi kecil, yaitu Maswati pada tahun-tahun awal abad ke-20, menjadi perkebunan teh yang berkembang pesat.” Demikian isi beritanya.
Dari teh, perusahaan melirik pohon karet untuk dibudidayakan. Leewarder Courant, 28 Mei 1957 mengutip laporan perusahaan tentang perubahan komoditas dari teh ke karet.
“Sekarang telah diputuskan untuk secara bertahap mengubah perkebunan teh menjadi kebun karet.” Kata berita di Leewarder Courant.
Setelah menjadi bagian dari PTPN VIII, masa jaya Perkebunan Maswati meredup sebelum bergulirnya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Sebagian area perkebunan kemudian dipakai untuk jalur dan fasilitas sepur kilat tersebut. Pohon-pohon karet pun ditebang.
“Jadi teu aya produksi pabrik,” kata Mamat (69), warga Maswati. Bangunan-bangunan perkebunan saat ini rata-rata bernasib serupa, rusak dan bahkan ada yang telah rata dengan tanah.
Setelah proyek rampung, kereta cepat kelak melesat di tengah kondisi perkebunan yang sebagian lahannya telah tergusur dan nasib para pekerjanya entah bagaimana.***
Leave a Reply